Psikes.com – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Rayon Psikologi dan Kesehatan (Psikes) menggelar refleksi kondisi Indonesia
dihalaman SMP Hassanudin 5 Semarang pada Minggu (7/9) pukul 03.15 WIB. Kegiatan
ini berlangsung dalam rangkaian Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) dan
dilaksanakan sebelum prosesi pembaiatan calon kader PMII Rayon Psikes.
Refleksi dimulai dengan menyalakan lilin bersama sebagai
simbol duka, kemudian dilanjutkan dengan orasi yang disampaikan oleh salah satu
kader PMII, Muhammad Baihaqi Ulya Darojat. Dalam orasinya, Ulya mengenang
korban-korban jiwa dalam gelombang demonstrasi belakangan ini, di antaranya
Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, dan Iko, seorang mahasiswa.
“Seorang ojek online meregang nyawa dilindas, dilupakan,
dan hanya dianggap statistik di berita singkat. Kematian Iko adalah potret
betapa nyawa rakyat seringkali lebih murah dari kursi kekuasaan. Kita tidak
boleh diam, tidak boleh tunduk, tidak boleh lupa,” seru Ulya dalam orasinya.
Selain mengajak peserta untuk mengenang para korban, ia
juga menyoroti kondisi demokrasi Indonesia yang dinilai kian represif. “Apa
arti demokrasi, bila suara rakyat dibalas dengan peluru dan gas air mata?”
ujarnya, disambut teriakan “Hidup rakyat Indonesia !!” dari peserta refleksi.
Dalam wawancara setelah acara, Ulya menegaskan pesan utama
orasinya adalah pentingnya peran rakyat dalam melawan ketidakadilan. “Saya
ingin menyampaikan betapa pentingnya kontribusi kita dalam berjuang melawan
pemerintah yang bobrok seperti sekarang ini,” ujarnya. Kita menilai kematian
Iko dan Affan adalah bukti tindakan represif aparat. “Makin kita gencarkan
suara kita, bukan hanya tentang kebijakan bobrok, tapi juga meminta keadilan
seadil-adilnya untuk korban yang telah gugur,” tegasnya.
Ketua PMII Rayon Psikes, Imam Aqil Macca Safrin Lalaki,
menyampaikan rasa duka mendalam atas meninggalnya Affan dan Iko. “Seorang ojek
online yang hanya ingin mengantarkan makanan malah dilindas oleh mobil aparat.
Bagi saya, ini sangat melanggar Hak Asasi Manusia. Begitu juga kasus saudara
Iko, yang katanya jatuh tetapi tubuhnya penuh luka lebam yang diindikasikan
akibat pemukulan aparat,” ucap Imam.
Ia berharap refleksi ini menjadi pengingat agar mahasiswa
tidak apatis. “Semoga refleksi ini menjadikan kita manusia yang tidak apatis,
tetapi terus ada untuk negeri, untuk rakyat, untuk orang tua kita,” tambahnya
Refleksi ini ditutup dengan seruan komitmen untuk
melanjutkan perjuangan. Orator menegaskan bahwa setiap nyawa rakyat yang hilang
harus menjadi alasan untuk terus berdiri melawan ketidakadilan, demi
terwujudnya kehidupan yang lebih adil bagi semua. Seruan itu dipuncaki dengan
ucapan yang lantang,
“Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Perempuan
yang Melawan! Salam Pergerakan!!
Reporter: Sheva Asfar Rais
Redaktur: Kuni Zahidah A. B.
Tim Jurnalis
Biro Kajian dan Gerakan
PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan
Komisariat UIN Walisongo Semarang