Psikes.com - Aliansi
Mahasiswa Semarang bersama Gerakan Rakyat Jawa Tengah Menggugat (Geram) kembali
lakukan aksi dengan tajuk "Adili
dan Turunkan Jokowi" di depan Gedung Balaikota, Senin (26/08/2024).
Aksi
tersebut bertujuan untuk menolak secara tegas Revisi Undang-Undang untuk
menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan
70/PUU-XXII/2024. Tujuan lain dari aksi tersebut juga mengenai tindak
represifitas aparat kepolisian yang menangkap rekan-rekan mahasiswa dan pelajar
pada aksi jilid I di gedung DPRD Jawa Tengah pada Kamis (22/08/2024) lalu.
Pemberangkatan
aksi dimulai pukul 13.00 dengan titik kumpul awal di Lapangan Utama Kampus 3
Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo. Pada titik kumpul tersebut, massa
aksi dikondisikan oleh Koordinator Lapangan (Korlap) dari masing-masing
fakultas.
Dalam
perjalanan, massa aksi sempat mengitari gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) untuk mengelabuhi aparat sebelum menuju lokasi utama aksi yang bertempat
di gedung Balai Kota.
Aksi
demo di depan gedung Balaikota dimulai dengan penyampaian orasi oleh Korlap
Universitas Diponegoro (Undip), dilanjut dengan penyampaian orasi perlembaga
Universitas.
Untuk
membakar kembali semangat massa aksi, korlap umum aksi mengajak massa untuk
menghayati dan menyanyikan lagu Indonesia Pusaka bersama dilanjutkan pembacaan
Sumpah Mahasiswa.
Setelah
Sumpah Mahasiswa dibacakan dan diikuti oleh massa aksi, massa kemudian dibagi
menjadi dua kubu yang terbagi ke depan masing-masing pagar Balai Kota. Hal
tersebut bertujuan agar massa dapat masuk ke halaman gedung balaikota untuk
menggelar sidang rakyat dengan para wakil rakyat (read: Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD)).
Massa
aksi beberapa kali berusaha memasuki Balai Kota dengan mendorong para aparat
kepolisian tetapi belum berhasil karena rapatnya barisan dari aparat. Atmosfer aksi
kembali memanas ketika kedatangan siswa dari Sekolah Teknik Menengah (STM) yang
ada di Semarang. Kedatangan siswa STM tersebut ditujukan untuk memasuki bagian
dalam gedung balaikota yang belum sempat terbobol sebelumnya.
Pihak
aparat dan kepolisian kemudian dengan sigap membentuk formasi siaga untuk
membubarkan massa aksi. Massa yang masih berada di luar akhirnya terlibat
bentrok dengan melempar batu dan kayu ke arah polisi.
Karena
massa yang belum dapat dikondisikan, polisi akhirnya melakukan tindak
represifitas berupa penyemprotan water
cannon dan penembakan gas air mata serta bom kejut untuk menarik mundur
massa. Tindak represif tersebut menimbulkan banyak korban berjatuhan dan
beberapa massa aksi tertangkap.
Menyisir fakta dari salah satu korban, Mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) mengaku bahwa dirinya terluka akibat tembakan peluru karet.
“Saat
terjadi tindakan represif dari aparat dan massa melarikan diri, tiba-tiba
terdapat tembakan peluru karet yang mengenai kaki. Hal tersebut mengkibatkan
luka bakar dan saya harus mendapatkan 10 kali jahitan pada kaki,” terangnya.
“Awalnya
pertolongan pertama diberikan oleh tim medis Universitas Diponegoro, lalu saya
di bawa ke RSI sultan Agung untuk penanganan lebih lanjut. Dari situ ditemukan
beberapa serpihan tembakan yang masih menempel di kaki saya,” pungkasnya.
Reporter: Zahra Nailil Haq, Dhea Azhar Fauziah, & Novia Rizky Kamilulfalaah
Redaktur: Farah Ghifari
Biro Kajian dan Gerakan
PMII Rayon Psikologi dan Kesehatan