MENANGGAPI RISYWAH DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Sebentar lagi Masyarakat Indonesia akan
melakukan pemilihan umum (pemilu) 2024 dimana sebelum itu tentunya terdapat
pilotik uang besar-besaran yang dialukan oleh peserta maupun tim sukses.
Menurut riset yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada awal tahun 2023
mengeklaim bahwa 36,5 persen dari 506 responden nasional mengaku pernah
menerima atau melihat orang lain menerima uang dari para perserta pemilu.
Artinya, 3 dari setiap 10 orang di Indosenia yang pernah berpartisipasi dalam
dalam pemilu, pernah terlibat transaksi politik uang.
Angka tersebut cukup mengkhawatirkan jika
tidak teratasi secara menyeluruh, terutama menjelang pemilu 2024. Kita sebagai warga
negara yang membela tanah air harus memiliki pemikiran idealis senantiasa
berusaha menegakkan demokrasi yang ada di Indonesia. “Uang bukan segalanya
namun segalanya butuh uang”. Ungkapan tersebut sering terdengar dalam kehidupan
kita sehari-hari. Bagaimana tidak, banyak orang yang beranggapan bahwa segalanya
dapat dibeli dengan uang, namun pada kenyataanya tidak semua hal dapat dibeli
dengan uang. Sebagian kecil contohnya yaitu
Risywah atau yang sering disebut suap
merupakan sebuah tindakan seseorang dengan memberikan sejumlah barang barang
tertentu kepada orang lain yang sudah dipercaya dengan harapan dapat mengubah
kedudukannya. Pada prakteknya suap sering terjadi pada orang yang tergiur akan
pangkat yang lebih tinggi dari sebelumnya dan orang yang ingin terlepas dari
sebuah masalah yang dialaminya.
Dalam syariah islam sendiri perbuatan suap-menyuap
itu sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang mengrikan, Rasulullah SAW
bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
Artinya : “Allah SWT melaknat orang yang memberi suap dan yang
menerima suap”. (HR. Ahmad dan lainya dari Abdullah bin Amr’ Radhiyallahu ‘anhuma, Dishohihkan
Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau lainnya)”.
Dalam hadits
tersebut tedapat lafad “Allah melaknat” yang menurut pendapat para ulama,
apabila dalam sebuah nash terdapat lafad tersebut maka menunjukan bahwa
perbuatan tersebut termasuk kategori dosa besar, yang mana tidak dapat diampuni
kecuali bertaubat.
Jadi menurut
syariat islam, perbuatan suap pada dasarnya adalah haram karena mengandung
unsur kezaliman dan merugikan orang lain, seperti mengambil hak orang lain
dengan mempengaruhi keputusan hakim.
Akan tetapi, suap akan berbeda jika tidak mengandung kezaliman terhadap hak
orang orang lain sedikit pun. Hal tersebut dijelaskan dalam mustatsnayat qoidah
al-fiqhiyah yang ke-27 “ma harama akhduhu haroma i’thouhu”.
Menjelang pemilu ini, tentunya banyak beredar suap-menyuap yang dilakukan oleh peserta pemilu. Mereka ingin mendapatkan hak mereka tetapi mengesampingkan hak orang lain. Manusia diciptakan tentunya tidak lepas dari hawa nafsu dan bisikan syaithan. Mereka akan mencari sebiru satu cara pembelaan agar perbuatannya dapat dibenarkan. Sebagai seorang muslim dalam berperilaku harus mempunyai landasan jangan hanya dibutakan oleh keinginan.
References
Abdurrohman, J. A.-S. (1965). Al-Asybah wa
An-Nadhoir. Surabaya: Al-Hidayah.
Putra, A. D. (2023, Agustus 10). Retrieved from magdanele.co: https://magdalene.co/story/vote-selling-pemilu/
Sahal, A. (2021). Anwar Al-Bashoir. Pati: Mahad Al-Islami Maslakul Huda.
Penulis : (Anggota RTL Kajian dan Gerakan)